Rabu, 13 Juli 2011

GAWAI DAYAK : Oleh-Oleh dari Sanggau


Oleh : Julianus P Limbeng

Ada beberapa hal yang cukup membuat saya takjub dan menarik, tatkala tiga hari  bersama teman-teman dari Direktorat Kepercayaan dan menemani Pak Gede Ardika, mantan menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Kabinet Gotong Royong, ketika berkunjung dalam perhelatan Gawai Dayak, yang diselenggarakan oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada awal Juli yang lalu. Ketakjuban dan ketertarikan saya adalah bagaimana sebuah tradisi masyarakat Dayak masih hidup dan dikembangkan dengan baik di era globalisasi sekarang ini. Tradisi-tradisi yang hampir punah direvitalisasi dan diaktualisasikan kembali dengan melibatkan masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah dan swasta. Tidak hanya tradisi yang menyangkut upacara yang berkaitan dengan budaya agraris, tetapi bagaimana pula lembaga adat berperan dan berfungsi dalam sistem yang ada.
Gawai Dayak, atau pesta Orang Dayak yang telah beberapa kali dilakukan, merupakan upaya menghidupkan tradisi sekaligus adat istiadat. Ungkapan kegembiraan disampaikan kepada Jewata (Tuhan) dengan berbagai aktivitas yang dilandasi atas hasil panen yang melimpah ruah dan memberikan kehidupan bagi mereka. Mereka memberikan persembahan dengan menyembelih beberapa ekor hewan, dan upacara yang dipimpin oleh pengetua adat atau dukun. Ungkapan ini semuanya dilaksanakan di rumah adat panjang yang disebut dengan Betang dan di lumbung padi, Jurong. Tradisi seperti ini diberbagai tempat dihidupkan kembali dan ditampilkan dalam konteks kekinian dan menarik. Di Sunda misalnya disebut dengan Seren Taun, upacara memasukkan padi ke leuwit (Karo : keben, lumbung) yang dipimpin oleh Jaro dibuat menarik dengan menampilkan tradisi yang lain seperti  angklung gubrag, debus, dan lain-lain.
Jika kita bandingkan di Karo, kita juga memiliki tradisi yang berkaitan dengan pertanian. Misalnya merdang merdem, kerja tahun, atau di daerah Karo Dusun dan Karo Timur dikenal dengan Rebu-Rebu (masih hidup di beberapa desa di Kecamatan STM Hulu dan Gunung Meriah). Namun yang membedakan dengan kita, pesta adat mereka kini ditata dengan bagus dengan sentuhan kreatifitas. Ini yang membuat kegiatan tersebut menjadi hidup sekaligus tradisi mereka pun dapat dilestarikan. Anak-anak muda pun ikut terlibat, merasakan dan ikut ambil bagian langsung.
Gawai Dayak yang berlangsung selama empat hari, yang dimulai setiap tahunnya pada tanggal 7 Juli (angka 7 memiliki simbol tertentu bagi mereka) dapat dikatakan sebagai ajang menghadirkan kekayaan tradisi yang mereka miliki. Semua tradisi itu hadir dengan kemasan kreatifitas dalam ajang upacara, pertunjukan, lomba, pameran, festival, pawai, sekaligus menjadi tontonan yang dapat menjadi tuntunan bagi masyarakat. Baik bagi usia tua maupun usia belia. Ribuan orang hadir tumpah di pelataran Youth Camp di halaman Rumah Betang tersebut. Pernak-pernik dayak muncul dalam berbagai bentuk, baju batik motif Dayak, yang dipadukan dengan motif Cina dan Melayu, yang memang tiga etnis yang hidup disana selain etnis lainnya. Semuanya sentuhan tradisi.
Mereka membuat berbagai macam lomba yang terkait dengan budaya setempat, seperti mendongeng, bermain musik, menari, tradisi menumbuk padi di lesung, dan sebagainya. Setiap kecamatan mengirimkan utusannya untuk mengikuti beragam lomba tersebut. Lomba yang merak lakukan pun cukup menarik. Dari sisi teknis dan kemampuan peserta yang saya saksikan, khususnya musik dan tarian Dayak, telah ditata dengan bagus. Komposisi musiknya sangat kreatif. Alat musik petik seperti Sampek (sejenis kecapi) dimainkan dengan memadukan ritmis gendang dan gong chime yang sangat dinamis dan komunikatif dengan penonton. Demikian juga dengan tariannya telah mempertimbangkan unsur-unsur seni pertunjukan. Blocking  penari di atas panggung dan desain busana dengan dasar tradisi Dayak mereka ketengahkan dengan baik. Demikian juga dengan tata panggung. Oleh sebab itu tak heran, jika Bupati Sanggau, H. Setiman H Sudin menyambut baik dan mendukung penuh kegiatan tersebut. Demikian juga, etnis serumpun dari tetangga, Sarawak, Malaysia Timur juga turut hadir memeriahkan acara tersebut. Artinya, Gawai Dayak kita bisa melihat kekayaan tradisi dan bagaimana sebuah budaya dapat hidup. Budaya tersebut dapat hidup tentunya mendapat dukungan dari pemerintah maupun swasta, seperti PTPN XIII yang ada disana.
Saya melihat kembali kepada tradisi di daerah kita, Karo. Begitu banyak juga tradisi Karo yang tidak kalah dan luar biasa. Namun siapa yang mau memulainya ? Siapa yang punya kepedulian ? Pemerintah saja tidak cukup, perlu melibatkan individu-individu dan perusahaan yang ada di daerah, misalnya dengan pemanfaatan dana CSR-nya. Di Dayak ada Dewan Adat Dayak di setiap provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan seluruh Dayak yang ada di Kalimantan, yang kini ketuanya A. Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah. Ini contoh positif. Dewan Adat Karo ? Perlu memikirkan culture by create.
Tahun akhir 70-an, ketika saya anak-anak, saya masih sempat melihat tradisi Rebu-Rebu masih hidup dan peran pemerintah kala itu (Camat) masih ada, terutama untuk menentukan tanggal dan kegiatan apa yang dilakukan setiap hari sebelum hari H-nya bersama dengan pengetua adat tentunya. Misalnya, erburu, ndurung, ku kuburen, dan seterusnya. Namun kini tradisi itu hilang. Mengapa hilang pasti ada sebabnya. Salah satunya adalah tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Padahal jika dikemas, dengan didukung oleh Sumber Daya Manusia yang kompeten, dan juga sumber daya budaya yang potensial untuk direvitalisasi, saya percaya disamping warisan budaya buat anak cucu kita kelak, juga bisa dikaitkan dengan kepariwisataan dan ekonomi kreatif yang akan berdampak pada pro job, pro poor  dan pro growth. Intinya : Berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Budaya ta pe nggeluh, kita pe banci banna nggeluh. Lit kerja kuta, lit alasen mulih ku kuta. Emaka bahan kerja kuta. Ayo, belum terlambat….

Sanggau, 7 Juli 2011.