Rabu, 13 Juli 2011

GAWAI DAYAK : Oleh-Oleh dari Sanggau


Oleh : Julianus P Limbeng

Ada beberapa hal yang cukup membuat saya takjub dan menarik, tatkala tiga hari  bersama teman-teman dari Direktorat Kepercayaan dan menemani Pak Gede Ardika, mantan menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada Kabinet Gotong Royong, ketika berkunjung dalam perhelatan Gawai Dayak, yang diselenggarakan oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat pada awal Juli yang lalu. Ketakjuban dan ketertarikan saya adalah bagaimana sebuah tradisi masyarakat Dayak masih hidup dan dikembangkan dengan baik di era globalisasi sekarang ini. Tradisi-tradisi yang hampir punah direvitalisasi dan diaktualisasikan kembali dengan melibatkan masyarakat dan dukungan dari pihak pemerintah dan swasta. Tidak hanya tradisi yang menyangkut upacara yang berkaitan dengan budaya agraris, tetapi bagaimana pula lembaga adat berperan dan berfungsi dalam sistem yang ada.
Gawai Dayak, atau pesta Orang Dayak yang telah beberapa kali dilakukan, merupakan upaya menghidupkan tradisi sekaligus adat istiadat. Ungkapan kegembiraan disampaikan kepada Jewata (Tuhan) dengan berbagai aktivitas yang dilandasi atas hasil panen yang melimpah ruah dan memberikan kehidupan bagi mereka. Mereka memberikan persembahan dengan menyembelih beberapa ekor hewan, dan upacara yang dipimpin oleh pengetua adat atau dukun. Ungkapan ini semuanya dilaksanakan di rumah adat panjang yang disebut dengan Betang dan di lumbung padi, Jurong. Tradisi seperti ini diberbagai tempat dihidupkan kembali dan ditampilkan dalam konteks kekinian dan menarik. Di Sunda misalnya disebut dengan Seren Taun, upacara memasukkan padi ke leuwit (Karo : keben, lumbung) yang dipimpin oleh Jaro dibuat menarik dengan menampilkan tradisi yang lain seperti  angklung gubrag, debus, dan lain-lain.
Jika kita bandingkan di Karo, kita juga memiliki tradisi yang berkaitan dengan pertanian. Misalnya merdang merdem, kerja tahun, atau di daerah Karo Dusun dan Karo Timur dikenal dengan Rebu-Rebu (masih hidup di beberapa desa di Kecamatan STM Hulu dan Gunung Meriah). Namun yang membedakan dengan kita, pesta adat mereka kini ditata dengan bagus dengan sentuhan kreatifitas. Ini yang membuat kegiatan tersebut menjadi hidup sekaligus tradisi mereka pun dapat dilestarikan. Anak-anak muda pun ikut terlibat, merasakan dan ikut ambil bagian langsung.
Gawai Dayak yang berlangsung selama empat hari, yang dimulai setiap tahunnya pada tanggal 7 Juli (angka 7 memiliki simbol tertentu bagi mereka) dapat dikatakan sebagai ajang menghadirkan kekayaan tradisi yang mereka miliki. Semua tradisi itu hadir dengan kemasan kreatifitas dalam ajang upacara, pertunjukan, lomba, pameran, festival, pawai, sekaligus menjadi tontonan yang dapat menjadi tuntunan bagi masyarakat. Baik bagi usia tua maupun usia belia. Ribuan orang hadir tumpah di pelataran Youth Camp di halaman Rumah Betang tersebut. Pernak-pernik dayak muncul dalam berbagai bentuk, baju batik motif Dayak, yang dipadukan dengan motif Cina dan Melayu, yang memang tiga etnis yang hidup disana selain etnis lainnya. Semuanya sentuhan tradisi.
Mereka membuat berbagai macam lomba yang terkait dengan budaya setempat, seperti mendongeng, bermain musik, menari, tradisi menumbuk padi di lesung, dan sebagainya. Setiap kecamatan mengirimkan utusannya untuk mengikuti beragam lomba tersebut. Lomba yang merak lakukan pun cukup menarik. Dari sisi teknis dan kemampuan peserta yang saya saksikan, khususnya musik dan tarian Dayak, telah ditata dengan bagus. Komposisi musiknya sangat kreatif. Alat musik petik seperti Sampek (sejenis kecapi) dimainkan dengan memadukan ritmis gendang dan gong chime yang sangat dinamis dan komunikatif dengan penonton. Demikian juga dengan tariannya telah mempertimbangkan unsur-unsur seni pertunjukan. Blocking  penari di atas panggung dan desain busana dengan dasar tradisi Dayak mereka ketengahkan dengan baik. Demikian juga dengan tata panggung. Oleh sebab itu tak heran, jika Bupati Sanggau, H. Setiman H Sudin menyambut baik dan mendukung penuh kegiatan tersebut. Demikian juga, etnis serumpun dari tetangga, Sarawak, Malaysia Timur juga turut hadir memeriahkan acara tersebut. Artinya, Gawai Dayak kita bisa melihat kekayaan tradisi dan bagaimana sebuah budaya dapat hidup. Budaya tersebut dapat hidup tentunya mendapat dukungan dari pemerintah maupun swasta, seperti PTPN XIII yang ada disana.
Saya melihat kembali kepada tradisi di daerah kita, Karo. Begitu banyak juga tradisi Karo yang tidak kalah dan luar biasa. Namun siapa yang mau memulainya ? Siapa yang punya kepedulian ? Pemerintah saja tidak cukup, perlu melibatkan individu-individu dan perusahaan yang ada di daerah, misalnya dengan pemanfaatan dana CSR-nya. Di Dayak ada Dewan Adat Dayak di setiap provinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan seluruh Dayak yang ada di Kalimantan, yang kini ketuanya A. Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah. Ini contoh positif. Dewan Adat Karo ? Perlu memikirkan culture by create.
Tahun akhir 70-an, ketika saya anak-anak, saya masih sempat melihat tradisi Rebu-Rebu masih hidup dan peran pemerintah kala itu (Camat) masih ada, terutama untuk menentukan tanggal dan kegiatan apa yang dilakukan setiap hari sebelum hari H-nya bersama dengan pengetua adat tentunya. Misalnya, erburu, ndurung, ku kuburen, dan seterusnya. Namun kini tradisi itu hilang. Mengapa hilang pasti ada sebabnya. Salah satunya adalah tidak sesuai dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Padahal jika dikemas, dengan didukung oleh Sumber Daya Manusia yang kompeten, dan juga sumber daya budaya yang potensial untuk direvitalisasi, saya percaya disamping warisan budaya buat anak cucu kita kelak, juga bisa dikaitkan dengan kepariwisataan dan ekonomi kreatif yang akan berdampak pada pro job, pro poor  dan pro growth. Intinya : Berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Budaya ta pe nggeluh, kita pe banci banna nggeluh. Lit kerja kuta, lit alasen mulih ku kuta. Emaka bahan kerja kuta. Ayo, belum terlambat….

Sanggau, 7 Juli 2011.

Senin, 22 Maret 2010

SEKILAS ADAT BUDAYA KARO

Pt. Julianus P Limbeng, S.Sn., M.Si., Dr. (Cand)

1. PENDAHULUAN

Suku Karo adalah salah satu suku yang mendiami Propinsi Sumatera Utara. Secara budaya suku Karo selama ini disebut sebagai bagian dari Suku Batak, yang disebut suku Batak Karo meskipun diantara orang Karo sendiri masih merupakan perdebatan apakah Karo termasuk ke dalam Suku Batak atau tidak. Hal ini karena selain Karo ada juga suku-suku lain seperti Alas, Gayo, dan sebagainya yang secara budaya mempunyai beberapa persamaan, namun tidak dikategorikan sebagai Batak. Terlepas dari perdebatan-perdebatan yang masih berlangsung serta adanya upaya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berdasarkan literatur-literatur yang ada, tulisan ini tidak akan memperdebatkan itu. Tetapi lebih melihat suku Karo sebagai sebuah suku yang mempunyai sistem kebudayaan sendiri.
Sebagai sebuah suku, Karo mempunyai sistem budaya yang biasa disebut dengan adat nggeluh. Adat nggeluh ini terkait dengan tata aturan yang menyangkut hubungan antara peranan dan individu dalam bagian-bagian tertentu. Secara lengkap dan luas sistem kekerabatan pada masyarakat Karo ini disebut dengan merga si lima, rakut si telu, tutur si waluh, dan perkade-kaden si sepulu dua. Inilah yang disebut sebagai kekerabatan yang menyangkut hubungan-hubungan, sapaan-sapaan yang disebut dengan orat tutur.
Bagi orang Karo sendiri yang dianggap sebagai orang Karo adalah (1) berdasarkan pengakuannya bahwa dia adalah orang Karo, (2) mempunyai merga atau beru, demikian juga bere-bere berdasarkan merga si lima, (3) mempunyai sangkep nggeluh, yaitu kerabat dalam rakut si telu (kalimbubu, anak beru, dan senina), (4) mengetahui atau mempunyai kampung asal usul berdasarkan merganya, (5) Dipakai dan dapat berkomunikasi dengan bahasa Karo, (6) memakai kekerabatan Karo.

2. MERGA SI LIMA – BERU SI LIMA

Salah satu ciri masyarakat Karo adalah adanya merga (klan) pada setiap individu yang melekat pada namanya. Untuk laki-laki disebut dengan merga dan untuk perempuan disebut dengan beru. Merga tau beru ini ditarik berdasrkan garis ayah (patrilineal). Meskipun orang Karo menarik garis keturunan berdasarkan garis ayah, namun orang Karo tidak sepenuhnya patrilineal, karena kenyataannya dalam adat orang Karo sendiri khususnya dalam ertutur (sapaan) selalu ditanya beru ibunya. Oleh sebab itu sebenarnya orang Karo menarik garis keturunan berdasarkan garis keturunan dari ibu juga sekaligus yang disebut beré-beré.
Merga atau beru pada suku Karo terdiri dari lima kelompok besar yang disebut dengan merga si lima, yaitu (1) Karo-Karo; (2) Ginting; (3) Tarigan; (4) Sembiring; dan (5) Perangin-angin. Saya lebih cenderung menyebutkan ke lima kelompok besar tersebut sebagai indung merga. Karena apabila kita mengatakan merga, kemudian bagian dari merga itu sebagai sub-merga, akan menimbulkan persoalan lagi. Semua merga-merga yang ada pada masyarakat Karo masuk ke dalam salah satu lima kelompok merga tersebut. Penamaan merga ini bagi setiap individu digunakan nama Kelompok, kemudian bagian dari kelompok itu sendiri. Untuk laki-laki biasanya setelah nama langsung diikuti oleh kelompok merga mana dia masuk, selanjutnya disebutkan bagian mana dari kelompok itu. Seperti contoh, nama saya Julianus, merga saya Limbeng, termasuk ke dalam kelompok Perangin-angin, maka nama saya lengkap secara Karo adalah Julianus Perangin-angin Limbeng. Tetapi karena Limbeng dianggap sudah diketahui sebagai merga Perangin-angin, maka biasa dalam penulisan Perangin-angin itu sendiri dihilangkan dan langsung menuju ke merga itu.Untuk perempuan ditambah kata beru setelah nama, baru indung merga dan selanjutnya merga itu sendiri. Contoh: Purnama beru Ginting Suka.

Penamaan merga tersebut untuk laki-laki cukup diikuti merga setelah namanya, sedangkan untuk perempuan setelah nama diikuti kata beru kemudian nama kelompok berunya. Jadi penyebutan ke lima merga tersebut untuk laki-laki dan perempuan adalah : Karo-Karo – Beru Karo; Ginting – Beru Ginting; Tarigan – Beru Tarigan; Sembiring – Beru Sembiring; dan Perangin-angin – Beru Perangin-angin.
Dalam prakteknya penyebutan marga, khususnya dalam penulisan belumlah seragam dalam semua merga Karo. Ada yang menuliskan indung merga saja setelah namanya. Contoh : Kabar Ginting, Adil Tarigan, Merso Tarigan, Gunung Peranginangin, Motor Karokaro. Juga ada yang hanya menyebut sub-merganya saja tanpa menuliskan indung merganya. Misalnya : Johannes Sahing, Kawar Brahmana, David Munthe, Lenin Bangun, Ranting Keloko, Catur Barus, dll. Seharusnya penamaan ini juga diseragamkan, mengingat merga ini juga merupakan identitas kita sebagai kalak Karo. Usul dari saya untuk penamaan ini adalah Nama + Indung Merga + Sub-Merga. Hal ini akan memberikan kejelasan informasi tentang diri seseorang. Jadi seperti contoh penulisan nama di atas adalah Johannes Tarigan Sahing, atau bias disingkat menjadi Johanes T Sahing, Kawar Sembiring Brahmana (Kawar S Brahmana), David Ginting Munthe (David G Munthe), Lenin Peranginangin Bangun (Lenin P Bangun), Ranting Sembiring Keloko (Ranting S Keloko), Catur Karokaro Barus (Catur K Barus). Coba tuliskan nama anda masing-masing…

Perkawinan antar satu marga sangat dilarang (incest taboo), namun ada juga antara sub marga yang satu marga boleh melakukan perkawinan, misalnya antara merga Sembiring simantangkenn biang dengan Sembiring yang tidak memantangken biang (anjing). Demikian juga antara merga – beru Sebayang dengan salah satu sub merga Perangin-angin.

DAFTAR MERGA SI LIMA – BERU SI LIMA

MERGA – BERU

I. GINTING
Sub Merga
Terdapat di daerah :

1 Ajartambun - Raja Merahe
2 Babo - Guru Benua, Munte, Kuta Gerat
3 Beras - Lau Petundal
4 Capah - Bukit, Kalang
5 Garamata - Raja Tengah, Tongging
6 Gurupatih - Buluh Naman, Sarimunte, Naga, Lau Kapur
7 Jadibata - Juhar, Kidupen
8 Sugihen - Juhar, Kutagunung, Sugihen
9 Suka - Berastepu, Lingga Julu, Naman, Suka
10 Jawak - Cingkes
11 Manik - Tengging, Lingga
12 Munte - Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tengging, Munte, Raja Tengah, Bulan Jahe
13 Pase - (sudah punah)
14 Seragih - Linggajulu
15 Sinusinga - Singa
16 Tumangger - Kem-kem, Kidupen

II. KARO-KARO

Sub-Merga
Terdapat di Kampung

1 Barus - Barusjahe, Sipitukuta
2 Bukit - Bukit, Sampun, Buluh Awar
3 Kemit - Kuta Bale
4 Samura - Samura
5 Karosekali - Seberaya
6 Sinuraya - Bunuraya, Kandibata, Singgamanik
7 Gurusinga - Gurusinga, Raja Berneh
8 Jung/Ujung - Batu Karang, Kalang, Kuta Nangka, Perbesi
9 Kaban - Kaban, Sumbul, Pernantin
10 Kacaribu - Kerapat, Kuta Great
11 Purba - Berastagi, Kabanjahe, Lau Cih
12 Sinubulan - Bulanjulu, Bulanjahe,
13 Sinuhaji - Aji Siempat
14 Sinukaban - Bintang Meriah, Buluh Naman, Kaban Tua, Lau Lingga, Pernantin
15 Sinulingga - Gunung Merlawan, Lingga
16 Ketaren - Ketaren, Raya, Sibolangit
17 Sitepu - Naman, Sukanalu
18 Surbakti - Gajah, Surbakti

III. PERANGIN-ANGIN

Sub-Merga
Terdapat di daerah/kampung

1 Bangun - Batu Karang
2 Benjerang - Batu Karang
3 Kacinambun - Kacinambun
4 Keliat - Mardingding, Sibolangit
5 Laksa - Juhar
6 Limbeng - Kuta Jurung, Pancur Batu
7 Mano - Pergendangen
8 Namohaji - Kutabuluh
9 Penggarun - Susuk
10 Perbesi - Seberaya
11 Pencawan - Perbesi
12 Pinem - Sarintono (Sidikalang)
13 Prasi - Deli Serdang
14 Singarimbun - Kutambaru, Mardingding, Temburun
15 Sebayang - Gunung, Kuala, Kuta Great, Perbesi
16 Sinurat - Kerenda
17 Sukatendel - Sukatendel
18 Tanjung - Pernampen, Sukatendel
19 Ulunjandi - Juhar
20 Uwir - Singgamanik


IV. SEMBIRING

A. Siman Biang (Boleh Memakan Daging Anjing)

Sub-Merga
Terdapat di Kampung
1 Keloko - Pergendangen
2 Kembaren - Samperaya, Liang Melas, Gunung Meriah
3 Sinulaki - Silalahi
4 Sinupayung - Jumaraja, Negeri

B. Simantangken Biang (Memantangkan Anjing)

5 Brahmana - Kabanjahe, Limang, Perbesi
6 Bunuhaji - Beganding, Kuta Tonggal, Sukatepu
7 Busuk - Kidupen, Lau Perimbon
8 Colia - Kubucolia, Seberaya
9 Depari - Munte, Perbesi, Seberaya
10 Gurukinayan - Gurukinayan
11 Keling - Juhar, Raja Tengah
12 Maha - Lau Renun
13 Meliala - Berastepu, Biaknampe, Kabanjahe, Kidupen, Munte, Naman, Rajaberneh, Sarinembah,
14 Muham - Perbesi, Susuk
15 Pandebayang - Gurusinga, Buluhnaman
16 Pandia - Beganding, Payung, Seberaya
17 Pelawi - Ajijahe, Hamparan Perak (Deli), Kandibata, Perbaji
18 Sinukapar - Pertumbuken, Sarintonu
19 Tekang - Kaban

V. TARIGAN

Sub-Merga
Terdapat di Kampung

1 Bondong - Lingga
2 Gana-gana - Batu Karang
3 Gerneng - Cingkes
4 Gersang - Nagasaribu (Simalungun), Berastepu
5 Jampang - Pergendangen
6 Pekan - Sukanalu
7 Purba - Purba (Simalungun)
8 Sahing - Deli Serdang
9 Silangit - Gunung Meriah
10 Sibero - Juhar, Kutaraja, Keriahen. Lingga, Munte, Selakkar, Tanjung Beringin
11 Tambak - Kebayaken, Sukanalu
12 Tambun - Binangara, Rakut Besi, Sinaman
13 Tua - Pergendangen
14 Tegur - Suka


3. RAKUT SI TELU

Rakut si telu yang berati ikatan nan tiga, atau di Karo Jahe sering juga disebut dengan daliken si telu yang berarti tungku nan tiga, yang merupakan istilah yang hampir sama pada Toba (dalihan na tolu) adalah pembagian setiap individu ke dalam tiga ketegori dalam struktur sosial, yaitu kalimbubu, senina, dan anak beru.
Setiap individu secara otomatis mempunyai tiga status tersebut sekaligus, namun status tersebut akan berganti pada setiap individu tergantung di pihak-pihak tertentu dalam struktur sosial ia berada. Sebagai contoh: Dalam keluarga istri saya akan menjadi anak beru, tetapi dalam kkeluarga saudara perempuan saya, saya akan menjadi kalimbubu, dan secara horizontal saya pasti mempunyai senina (saudara). Demikian seterusnya pada setiap individu, sehingga peran sebagai kalimbubu, senina, dan anak beru ada pada setiap individu tergantung dalam konteks siapa yang menjadi sukut (pihak yang mempunyai hajatan) dalam sebuah upacara. Dalam upacara adat ke tiga unsur tersebut mutlak harus ada.

Kalimbubu

Kalimbubu atau kelompok pemberi wanita bagi pihak keluarga laki-laki terbagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan penamaan, hubungan kekerabatan dan fungsinya dalam adat istiadat Karo. Kalimbubu dalam adat Karo adalah menjadi pihak yang memberikan restu, dan sinagar-nagari (mengarahkan, membimbing), serta memberikan berkat dalam upacara adat dan runggu (rapat adat). Demikian juga berfungsi menjadi tempat bertanya bagi pihak anak beru, yaitu pihak dari keluarga saudara perempuannya. Karena dia berfungsi memberikan berkat dan bimbingan, serta nasehat-nasehat, maka dalam setiap pengambilan keputusan dalam rapat adat sebelum diambil keputusan, selalu diminta pertimbangan dari pihak kalimbubu. Oleh sebab itu kalimbubu juga disebut sebagai tempat bertanya dan meminta berkat (tuah).

Ada beberapa jenis kalimbubu pada masyarakat Karo, yaitu :

(1) kalimbubu taneh, yaitu kalimbubu yang mendirikan sebuah perkampungan. Kalimbubu ini juga disebut dengan kalimbubu simajekken lulang. Dalam hal ini bisa jadi tidak ada hubungan darah secara langsung, tetapi disebut sebagai kalimbubu taneh sebagai penghormatan karena dialah yang pertama sekali tinggal dan membentuk sebuah perkempungan tersebut. Sebagai contoh, misalnya kampung saya bernama Lau Limpek. Kampung ini pertama sekali ditempati dan didirikan oleh seorang yang bermarga Karo-Karo Barus. Sebelum menjadi perkampungan sebenarnya tempat itu hanya sebagai perladangan dan mendirikan gubugnya disana, dan kemudian menjadi rumah tempat tingga. Lama kelamaan menjadi kampung karena semakin hari semakin banyak yang tinggal di situ. Marga Barus tersebut disebut sebagai anak nu taneh atau yang menjadi kalimbubu taneh. Kemudian datang seorang yang bermarga Peranginangin Limbeng ke perkampungan tersebut, demikian juga ada yang bermarga Ginting Suka. Ke tiga marga tersebut tinggal di tempat tersebut. Mereka tidak mempunyai hubungan darah sama sekali. Kemudian mereka bertiga berembuk. Marga Barus menjadi kalimbubu taneh, marga Limbeng dan Ginting menjadi anak beru taneh. Demikian dalam hubungan selanjutnya maka merga Limbeng dan Ginting tetap menjadi anak beru, kecuali pada seuatu ketika bisa berubah misalnya karena perkawinan. Bisa saja anak laki-laki pihak keluarga Barus suatu waktu melakukan perkawinan dengan anak perempuan Ginting atau Limbeng. Maka keluarga Ginting atau Limbeng bisa menjadi kalimbubu dari keluarga Barus. Jadi sebenarnya kalimbubu taneh ini berdasarkan kesepakatan.
(2) Kalimbubu tua, sering juga disebut dengan kalimbubu bena-bena. Kalimbubu ini adalah berdasarkan hubungan darah. Kalimbubu seperti ini adalah kalimbubu bapak kandung dari ibunya, atau saudara laki-laki dari ibu orang tua seseorang.
(3) Kalimbubu simada dareh, adalah saudara laki-laki dari ibu seseorang, saudara-saudaranya yang semarga.
(4) Kalimbubu si erkimbang, adalah pihak yang menjadi kalimbubu karena melakukan perkawinan dengan keluarga tertentu, misalnya keluarga laki-laki dari istri seseorang. Sebagai contoh: istri saya berasal dari marga/beru Bukit, maka pihak marga Bukit menjadi kalimbubu si erkimbang bagi saya. Pada masyarakat Karo kalimbubu seperti ini sering juga disebut kalimbubu siiperdemui.
(5) Kalimbubu sipemeren. Kalimbubu ini juga tingkatannya bermacam-macam, tergantung ke kalimbubu yang mana kalimbubu tersebut sepemeren (saudara karena ibu seseorang bersaudara). Oleh sebab itu kalimbubu jenis ini dapat menjadi kalimbubu si erkimbang, simada dareh, puang kalimbubu, atau kalimbubu tua juga.
(6) Puang Kalimbubu, adalah kalimbubu dari kalimbubu seseorang. Misalnya ibu kandung seseorang beru Tarigan Tambak, dan ibu dari ibu seseorang tersebut beru Sitepu, maka Tarigan Tambak disebut kalimbubu dareh atau kalimbubu simada dareh, sedangkan Sitepu menjadi puang kalimbubu atau sering juga disebut dengan perkempun dalam ertutur atau bertutur sapa. Kalimbubu seperti ini juga berlaku untuk kalimbubu sierkimbang.
(7) Puang ni puang (kalimbubu), adalah kalimbubu yang terakhir dalam tingkatan yang dihitung dalam hubungan kekerabatan meskipun masih dapat dibuat tingkat yang lebih jauh lagi, yaitu puang-puang ni puang kalimbubu.

Semua pihak kalimbubu ini sangat dihormati dalam kegiatan adat-istiadat. Jika kalimbubu ini satu tingkat atau setara dengan statusnya sebagai orang tua, maka biasanya disapa atau dipanggil dengan mama untuk laki-laki, dan untuk perempuan atau istri dari mama disapa atau dipanggil dengan sebutan mami. Jika dua tingkat di atas seseorang atau setara dengan Kakek, maka untuk laki-laki disapa atau dipanggil dengan bulang, dan nini bagi perempuan. Jika pihak kalimbubu itu tiga tingkat di atas atau setara dengan orang tua kakek seseorang maka disapa dengan empung untuk laki-laki dan perempuan. Jika setara dengan seseorang maka disapa dengan silih atau kadang juga disapa dengan impal. Jika lebih rendah satu tingkat dari seseorang atau setara dengan anak maka kalimbubu tersebut dipanggil dengan permen untuk laki-laki dan perempuan. Kemudian jika lebih rendah dua tingkat disapa dengan kempu, baik bagi laki-laki dan prempuan. Jika lebih rendah tiga tingkat maka disapa dengan ente, baik bagi laki-laki dan perempuan. Kemudian untuk tingkat keempat, yaitu tingkat yang paling terakhir disapa atau dipanggil dengan entah, baik bagi laki-laki dan prempuan.


Empung


Bulang – Nini


Mama – Mami


(Silih) – Ego – (Impal)


Permen


Kempu


Ente


Entah

Pada jaman dahulu apa yang diperintahkan oleh kalimbubu jarang dibantah, tentunya pada jaman sekarang ini mempunyaiperubahan-perubahan. Pihak kalimbubu sangat dihargai dan dihormati. Oleh sebab itu pada orang Karo kalimbubu sering juga disebut dengan dibata ni idah, yang terjemahan langsung dapat dipahami Allah yang kelihatan, atau wakil Tuhan. Kalimbubu juga disebut dengan simupus takal piher, yaitu pihak yang melahirkan kita. Dengan demikian dalam upacara-upacara adat kehormatan bagi pihak kalimbubu mutlak kelihatan dalm berbagai pelaksanaan.

Senina

Senina adalah pihak yang dikarenakan merga sama dalam tingkatan yang sama dan karena faktor-faktor lain dalam adat menjadikan hubungan kekeluargaan menjadi ersenina. Secara harafiah senina berarti saudara. Namun dalam adat-istiadat senina ini juga terdiri dari berbagai macam berdasarkan hubungannya. Adapun jenis-jenis senina ini adalah:
(1) Sembuyak, adalah saudara kandung.
(2) Sipemeren, yaitu dua orang bersaudara (ersenina) karena ibu mereka bersaudara. Sebagai contoh: Saya ber marga Limbeng, ibu saya beru Tarigan Tambak, kemudian Kakak ibu saya menikah dengan merga Sembiring, maka saya dengan anak saudara ibu saya disebut sipemeren. Antara anak laki-laki dengan anak laki-laki disebut senina sipemeren, tetapi antara laki-laki dengan perempuan disebut turang sipemeren.
(3) Siparibanen, adalah bersaudara karena istri bersaudara kandung, atau hubungan lain yang menyebabkan istrinya menjadi senina (saudara). Sebagai contoh: Saya bermarga Limbeng dengan Ledius Situmorang menjadi siparibanen, karena istri saya dengan istrinya kakak adik.
(4) Sipengalon, adalah bersaudara karena perkawinan antara orang luar dengan pihak kerabat dalam. Sebagai contoh: Saya dengan anak laki-laki saudara perempuan dari ayah istri saya disebut sipengalon.
(5) Sicimbangen, yaitu disebut untuk dua atau lebih perempuan yang bersaudara karena suaminya bersaudara. Misalnya, saya Julianus Limbeng, istri saya dengan istri adik laki-laki saya (Hendri Sion Limbeng) atau abang saya (Gelora Limbeng) disebut sicimbangen.

Anak Beru

Anak Beru adalah pihak keluarga laki-laki yang melakukan perkawinan dengan pihak perempuan dari keluarga tertentu. Misalnya Istri saya berasal dari merga Karo-Karo Bukit, maka dalam keluarga Bukit saya menjadi anak beru, dan juga termasuk yang setara secara horizontal dengan saya menjadi anak beru jika tidak ada hubungan yang lebih dekat yang dapat mengubah tutur, yaitu menyangkut peran seseorang dalam adat tersebut. Anak Beru secra harafiah sebenarnya anak perempuan. Jadi saudara perempuan seseorang, menjadi anak berunya berikut dengan suaminya dan keluarga dari suaminya.
Berdasarkan asal-usulnya anak beru ini juga bisa berdasarkan sejarah, keturunan, atau perkawinan. Adapun jenis-jenis anak beru ini adalah:
(1) Anak Beru Ipupus/Anak Beru Dareh, yaitu anak beru berdasarkan hubungan darah. Seorang laki-laki yang mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuannya itu beserta anaknya disebut anak beru ipupus, atau anak beru dareh. Namun suaminya tidak disebut anak beru dareh, karena tidak ada hubungan darah secara langsung.
(2) AnakBeru Tua, yaitu anak beru dari kakek seseorang. Dalam upacara adat anak beru inilah yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga kalimbubunya.
(3) Anak Beru Kuta, anak beru karena kesepakatan berdasarkan sejarah dimana pihak-pihak tertentu menjadi anak beru pada keluarga tertentu.
(4) Anak Beru Iangkip atau sering juga disebut dengan Anak Beru Ianduh atau iampu. anak beru ini adalah seseorang yang melakukan pernikahan dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya atau disebut erjabu man impalna.
(5) Anak Beru Cekuh Baka [Tutup], yaitu anak beru [laki-laki] dari anak saudara perempuan dari ayah seseorang.
(6) Anak Beru Singerana, yaitu anak beru yang fungsinya sebagai juru bicara dalam upacara-upacara adat.
(7) Anak Beru Menteri, yaitu anak beru yang fungsinya sebagai juru bicara dalam upacara-upacara adat.
(8) Anak Beru Menteri, yaitu anak beru dari anak beru.
(9) Anak Beru Singikuri, adalah Anak Beru Menteri dari Anak Beru.
(10) Anak Beru Singikuti, yaitu anak beru singikuri dari anak beru. Dalam hubungan kekeluargaan sebenarnya biasanya tidak diikutsertakan lagi dalam upacara adat.


4. TUTUR SI WALUH

Terjemahan langsung dari tutur si waluh adalah bisa dipahami sebagai struktur sosial dalam adat Karo dibagi menjadi delapan. Delapan unsur ini merupakan pengembangan atau pengelompokan lebih spesifik lagi dari rakut si telu, yaitu (1) Anak Beru, (2) Anak Beru Menteri, (3) Anak Beru Singikuri, (4) Sipemeren, (5) Sipengalon, (6) Siparibanen, (7) Kalimbubu, dan (8) Puang Kalimbubu. Ke delapan kelompok tersebut sebenarnya masih dapat lebih dispesifikkan lagi, karena rakut si telu itu tidak hanya terdiri dari delapan. Oleh sebab itu sebenarnya buku-buku teks tentang kebudayaan Karo sebenarnya sudah perlu dirubah, karena kenyataannya sebenarnya tidak murni seperti itu. Misalnya untuk kategori senina sebenarnya masih dapat di spesifikasikan lagi, misalnya sembuyak, senina, dan gamet (istilah ini terdapat di daerah Karo Dusun, Karo Timur, Karo Jahe), demikian juga untuk kalimbubu masih ada kategori lain, misalnya puang ni puang, kalimbubu taneh, kalimbubu tua, kalimbubu singalo ulu emas, kalimbubu emas, kalimbubu iperdemui, dan sebagainya. Juga unntuk kategori anak beru masih dapat di spesifikasikan lagi, misalnya anak beru iangkip, anak beru cekoh baka [tutup], anak beru taneh, dan sebagainya. Lebih lengkap tentang ini akan dibahas dalam poin penggelaren atau sapaan.

5. PERKADE-KADEN SI SEPULU DUA

Dalam buku-buku teks yang ada sebenarnya disebutkan dengan perkade-kaden si sepulu dua. Istilah itu juga sebenarnya masih baru muncul pada masyarakat Karo yang juga merupakan sapaan yang ada pada masyarakat Karo berdasarkan rakut si telu tadi dalam hubungan antara individu dengan individu. namun saya lebih cenderung menyebutnya dengan perkade-kaden si sepulu lima, karena menurut saya ada tiga sapaan yang sebenarnya masih dapat diidentifikasi, walaupun ke tiga sapaan tersebut (--empung-ente, dan entah--) dapat saja dimasukkan dalam kategori nini-bulang-kempu. Artinya empung dalam perkade-kaden si sepulu dua masuk dalam kategori bulang, kemudian ente dan entah masuk dalam kategori kempu (cucu). Padahal ente merupakan anak dari kempu, dan entah merupakan cucu dari kempu atau cucu dari cucu.





TINGKAT
KALIMBUBU
SENINA
ANAK BERU
3
Empung
Empung
Empung
2
Bulang-Nini
Bulang-Nini
Bulang-Nini
1
Mama-Mami
Bapa-Nande
Bengkila-Bibi
0
Impal-Silih
Senina (Ego)
Impal-Silih
1
Permen,
Anak
Bere-Bere, Kela
2
Kempu
Kempu
Kempu
3
Ente
Ente
Ente
4
Entah
Entah
Entah

Demikian juga untuk kategori horizontal dalam perkade-kaden si sepulu dua itu tidak disebut, misalnya sebutan antara anak yang setara, silih, impal, senina. Dengan demikian sebenarnya jumlahnya lebih dari dua belas. Dan hal ini akan lebih jelas jika kita kaitkan dengan sapaan, atau bagaimana setiap individu memanggil individu lainnya dalam konteks adat.
Secara rinngkas hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo dapat digambarkan sebagai berikut :

Merga Si Lima (Lk) – Beru Si Lima (Pr.)
(1) Karo-Karo – Beru Karo, (2) Ginting – Beru Ginting, (3) Tarigan – Beru Tarigan, (4) Sembiring – Beru Sembiring, dan (5) Perangin-angin – Beru Perangin-angin

Rakut Si Telu
(1) Kalimbubu, (2) Senina, dan (3) Anak Beru

Tutur Si Waluh
(1) Anak Beru, (2) Anak Beru Menteri, (3) Senina /Sembuyak, (4) Sipengalon, (5) Siparibanen, (6) Sipemeren, (7) Kalimbubu, dan (8) Puang Kalimbubu.

Perkade-kaden Si Sepuludua
Nini – Bulang – Kempu
Bapa – Nande – Anak
Bengkila – Bibi – Permen
Mama – Mami – Bere-bere

6. SAPAAN PADA ORANG KARO

Pada masyarakat Karo sapaan disebut dengan penggelaren. Berdasarkan sistem kekerabatan orang Karo, yaitu Merga Si Lima, Rakut Si Telu, Tutur Si Waluh, dan Perkade-kaden Si Sepulu Dua, maka muncul sapaan-sapaan antara individu-individu berdasarkan status, atau termasuk ke dalam kelompok mana dia dalam struktur sosialnya.

(1) Empung pada Karo Jahe disebut juga dengan Nono (kakek buyut). Empung atau nono merupakan sapaan yang paling tinggi dalam sistem tutur Karo.
(2) Nini Bulang atau lebih sering disebut Bulang saja (kakek). Nini Bulang dapat diartikan sebagai kakek. Namun pada daerah tertentu biasa juga disebut dengan Laki, Bayak. Nini Tudung atau lebih sering disebut nini saja adalah panggilan untuk nenek. Pada masyarakat Karo untuk memanggil nenek biasa juga dipanggil dengan sebutan berunyya. Misalnya seorang nenek yang beru tarigan maka oleh cucunya dipanggil dengan Tigan atau Nini Tigan. Demikian juga untuk beru lainnya. Beru Karo dipanggil Nini Karo, beru Ginting dipanggil Nini iting, beru Sembiring dipanggil Nini Biring, Beru Perangin-angin dipanggil Nini Ribu. Sedangkan untuk Karo jahe sebutan Nini biasa juga disebut dengan Nondong, yang sebenarnya merupakan singkatan dari nini tudung.
(3) Kempu adalah panggilan untuk cucu. Namun dalam ertutur, kempu juga sering ditanya, yaitu perkempun, yaitu bere-bere ibu ego.
(4) Bapa adalah panggilan atau sapaan untuk semua tutur bapak, namun bapa ini juga masih ada kategoti-kategori tertentu berdasarkan urutannya dalam keluarga. Untuk tutur bapa pada anak yang paling tua disebut dengan Bapa Tua, demikian juga untuk anak bungsu dipanggil dengan Bapa Nguda. Sedangkan untuk anak diantara sulung dan bungsu dipanggil Bapa Tengah.
(5) Nande (ibu, namun untuk saudara perempuan ibu disebut juga dengan bibi juga, namun statusnya sebagai nande) – Nande Nguda, Nande Tengah, Nande Tua, Nande Singuda (Ibu Tiri)
(6) Anak (anak). Sebenarnya anak pun ada beberapa jenis, yaitu anak kandung dan anak ianduh (angkat).
(7) Ame, adalah sebutan untuk anak perempuan oleh orang tua.
(8) Senina, dapat diartikan saudara. Senina ini bisa saudara kandung, sepupu dan lain sebagainya yang berdasarkan adat menjadi tutur senina.
(9) Cimbang, adalah sebutan saudara antara dua istri yang suaminya bersaudara.
(10) Pariban, adalah sebutan untuk dua orang atau lebih laki-laki yang mempunyai istri yang bersaudara.
(11) Sepengalon, adalah menjadi bersaudara dikarenakan perkawinan, yaitu perkawinan antara anak perempuan saudara laki-laki dari ayah seseorang dengan seorang laki-laki dari pihak luar.
(12) Sigameten, adalah disebut juga dengan senina seh ku ranan, yaitu biasanya tradisi mengambil disebuah kampung yang menjadi saudaranya dari merga yang sama dan berfungsi sebagai juru bicara juga dalam upacara-upacara adat.
(13) Impal, adalah sebutan untuk laki-laki yang bersaudara atau dalam bahasa Toba disebut dengan pariban. Dalam adat Karo mereka diijinkan untuk melakukan perkawinan, malah biasanya sangat didukung oleh pihak keluarga.
(14) Turang, adalah saudara antara laki-laki dan perempuan yang bermarga sama, atau saudara kandung.
(15) Turangku, sebutan untuk besan. Contoh: Saya dengan istri saudara laki-laki istri saya disebut erturangku.
(16) Turang Impal, adalah sebutan untuk laki-laki dan perempuan yang ibu si perempuan dan bapaknya si laki-laki satu marga.
(17) Besan, juga disebut untuk turangku.
(18) Kela, sebutan untuk menantu.
(19) Kaka, adalah sebutan untuk abang dan kakak. Berdasarkan tingkatan umurnya maka kaka ini juga dibagi tiga, yaitu kaka tua, kaka tengah, kaka nguda.
(20) Agi, adalah panggilan untuk adik.
(21) Eda, adalah panggilan seorang perempuan terhadap istri saudara laki-lakinya, atau pihak kalimbubu laki-lakinya yang lain.
(22) Silih, adalah sebutan untuk dua orang laki-laki yang melakukan perkawinan dengan salah satu saudara perempuannya.
(23) Bengkila, paman, suami dari saudara perempuan bapak.
(24) Bibi, saudara perempuan dari bapak.
(25) Permen, anak dari kalimbubu seseorang atau biasa juga penyebutan mertua laki-laki dari seorang ego perempuan.
(26) Mama, paman, saudara laki-laki ibu.
(27) Mami, istri dari saudara laki-laki ibu.
(28) Bere-bere, anak dari saudara perempuan atau sebutan untuk beru ibu dalam ertutur.
(29) Ente, cicit.
(30) Entah, buyut atau anak dari cicit.


Bojong Menteng, 15/11/2006.

Minggu, 28 Februari 2010

Miss u..


Utrecht, Agustus 2009


Bersama dengan Pak Brahmana di Maulin Rouge, Paris.. pada bulan Agustus 2009 lalu..

Kamis, 10 Juli 2008

Kado Anakku

Kemarin adalah hari ulang tahunku yang ke-38. Namun karena tugas, pagi-pagi sekali pukul 05.00 aku telah meninggalkan rumahku hingga kembali pukul 20.45. Aku meninggalkan anak-anakku masih tidur lelap, dan ketika aku kembali ke rumah anak bungsuku juga telah tidur. Hanya anak perempuanku dan sepupunya yang datang dari Kabanjahe yang belum tidur. Ibunya juga belum pulang dari tempatnya kerja. Anak perempuanku Xeane ketika melihat aku masuk ke rumah, langsung mengejarku, memelukku, dan akhirnya lari lagi mengambil satu bungkusan dari koran bekas, dia mendekapku dan menciumku, "Selamat Ulang Tahun Pak..". Dia memberikan kado yang dibungkus koran bekas tadi. "Dari Kiel juga ada..Buka pa, ada tulisannya", katanya. Aku buka, ada satu beng-beng dan tulisan di kertas putih "Pa Selamat Ulang Tahun, semoga panjang umur, salam manis dari Anne". Hatiku damai sekali, terobati ketika aku melawan macetnya kota Jakarta. Dia juga ingin membuka kado dari adiknya Kiel, namun aku larang, tunggu ada Kielnya aja. Tengah malam pukul 02.00 pagi, anak laki-lakiku bangun dan menghampiri aku di kamarku. Dia masuk dan langsung mendekap aku "Pak Kiel ada kado..", katanya sembari langsung keluar lagi dari kamarku dan mengambil kadonya dekat meja di telepon. Dia memberikanku dan menhyuruh aku juga membacanya, meskipun yang menulis adalah kakaknya sendiri Xeane. "Selamat Ulang tahun, semoga panjang umur, salam manis dari Kiel". Lama kudekap dan kupeluk dia anakku yang berumur empat tahun itu. Aku menjadi terbayang, betapa seharian kemarin dia menunggu aku, ingin mengucap selamat saja susahnya bertemu dengan bapaknya...

Pekerjaan terkadang membuat kita tidak bebas..

Kamis, 03 Juli 2008

Bontang


Sepanjang lk 2 km, jalan yang aku lalui terbuat dari kayu kalimantan. Cukup mewah tempatku berjalan menuju sebuah cafe yang terdapat di atas laut di Bontang Kuala, Kota Bontang - Kalimantan Timur. Di laut juga kita bisa melihat PT Badak perusahaan gas yang cukup terkenal di Kaltim. Dan di laut juga kita bisa melihat beberapa rumah yang dibangun di atas laut, sehingga transportasi mereka dilakukan melalui perahu kecil.

Di kota inilah aku berada selama empat hari untuk memberikan ceramah tentang pemanfaatan budaya lokal daerah atas undangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bontang. Lumayan yang hadir PNS, tokoh adat dan masyarakat adat yang ada di sana. Tempatku nginap juga gak kebayang jika aku diinapkan oleh mereka di Hotel Sintuk Bontang, punya Pupuk Kaltim... suatu saat aku ingin lagi ke sana.

Di Samarinda aku istirahat sejenak di Sungai Mahakam. Memang sangat luas, kapal-kapal tanker saja berlabuh disana, namun sedikit kotor dan banyak sampah. Apalagi PON akan berlangsung Juli 2008 disini, maka tak pelak lagi jika aku kesana sedang dilakukan upaya-upaya perbaikan infrastruktur seperti jalan dari Balik Papan menuju Samarinda, Bontang.

Ket. Foto. kiri: Sungai Mahakam
Ket Foto kanan: Bontang Kuala

Jekarta, 4 juli2008.